Bagi kita yang hidup di jaman sekarang banyak yang belum memahami seluk beluk sejarah pada jaman dulu ini karena kurangnya perhatian kita dengan sejarah sehingga kita tidak tertarik dengan sejarah, padahal sejarah itu sangatlah besar perenan untuk petunjuk masa depan yaitu sebagai guru. Di bawah ini saya berikan informasi tentang seluk beluk masuknya kerajaan islam ke indonesia yang dapat anda pelajari.
Pada abad 7 masehi, Islam sudah sampai ke Nusantara. Para Da’i yang datang ke Indonesia berasal dari jazirah Arab yang sudah beradaptasi dengan bangsa India yakni bangsa Gujarat dan ada juga yang telah beradptasi dengan bangsa Cina, dari berbagai arah yakni dari jalur sutera (jalur perdagangan) da’wah mulai merambah di pesisir-pesisir Nusantara.
Sejak awal Islam tidak pernah membeda-bedakan fungsi seseorang untuk berperan sebagai da’i (juru da’wah). Kewajiban berda’wah dalam Islam bukan hanya kasta (golongan) tertentu saja tetapi bagi setiap masyarakat dalam Islam. Sedangkan diagama lain hanya golongan tertentu yang mempunyai otoritas menyebarkan agama yaitu pendeta. Sesuai ungkapan Imam Syahid Hasan Albana “ Nahnu duat qabla kulla sai “ artinya kami adalah da’I sebelum profesi-profesi lainnya.
Sampainya da’wah di Indonesia melalui para pelaut-pelaut atau pedagang-pedagang sambil membawa dagangannya juga membawa akhlak Islami sekaligus memperkenalkan nilai-nilai yang Islami. Masyarakat ketika berbenalan dengan Islam terbuka pikirannya, dimulyakan sebagai manusia dan ini yang membedakan masuknya agama lain sesudah maupun sebelum datangnya Islam. Sebagai contoh masuknya agama Kristen ke Indonesia ini berbarengan dengan Gold (emas atau kekayaan) dan glory (kejayaan atau kekuasaan) selain Gospel yang merupakan motif penyebaran agama berbarengan dengan penjajahan dan kekuasaan. Sedangkan Islam dengan cara yang damai. Begitulah Islam pertama-tama disebarkan di Nusantara, dari komunitas-komunitas muslim yang berada di daerah-daerah pesisir berkembang menjadi kota-kota pelabuhan dan perdagangan dan terus berkembang sampai akhirnya menjadi kerajaan-kerajaan Islam dari mulai Aceh sampai Ternata dan Tidore yang merupakan pusat kerajaan Indonesia bagian Timur yang wilayahnya sampai ke Irian jaya.
ISLAM PADA MASA KERAJAAN DI INDONESIA
2.1 Telisik awal mula islam datang ke Indonesia
Ada beberapa teori yang hingga kini masih sering dibahas, baik oleh sarjana-sarjana Barat maupun kalangan intelektual Islam sendiri. Setidaknya ada tiga teori yang menjelaskan kedatangan Islam ke Timur Jauh termasuk ke Nusantara. Teori pertama diusung oleh Snouck Hurgronje yang mengatakan Islam masuk ke Indonesia dari wilayah-wilayah di anak benua India. Tempat-tempat seperti Gujarat, Bengali dan Malabar disebut sebagai asal masuknya Islam di Nusantara.
Bahkan sumber-sumber literatur Cina menyebutkan, menjelang seperempat abad ke-7, sudah berdiri perkampungan Arab Muslim di pesisir pantai Sumatera. Di perkampungan-perkampungan ini diberitakan, orang-orang Arab bermukim dan menikah dengan penduduk lokal dan membentuk komunitas-komunitas Muslim.
Dalam kitab sejarah Cina yang berjudul Chiu T’hang Shu disebutkan pernah mendapat kunjungan diplomatik dari orang-o-rang Ta Shih, sebutan untuk orang Arab, pada tahun tahun 651 Masehi atau 31 Hijirah. Empat tahun kemudian, dinasti yang sama kedatangan duta yang dikirim oleh Tan mi mo ni’. Tan mi mo ni’ adalah sebutan untuk Amirul Mukminin.
Dalam catatan tersebut, duta Tan mi mo ni’ menyebutkan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dan sudah tiga kali berganti kepemimpinan. Artinya, duta Muslim tersebut datang pada masa kepemimpinan Utsman bin Affan.
Kian tahun, kian bertambah duta-duta dari Timur Tengah yang datang ke wilayah Nusantara. Pada masa Dinasti Umayyah, ada sebanyak 17 duta Muslim yang datang ke Cina. Pada Dinasti Abbasiyah dikirim 18 duta ke negeri Cina. Bahkan pada pertengahan abad ke-7 sudah berdiri beberapa perkampungan Muslim di Kanfu atau Kanton.
Tentu saja, tak hanya ke negeri Cina perjalanan dilakukan. Beberapa catatan menyebutkan duta-duta Muslim juga mengunjungi Zabaj atau Sribuza atau yang lebih kita kenal dengan Kerajaan Sriwijaya. Hal ini sangat bisa diterima karena zaman itu adalah masa-masa keemasan Kerajaan Sriwijaya. Tidak ada satu ekspedisi yang akan menuju ke Cina tanpa melawat terlebih dulu ke Sriwijaya.
Sebuah literatur kuno Arab yang berjudul Aja’ib al Hind yang ditulis oleh Buzurg bin Shahriyar al Ramhurmuzi pada tahun 1000 memberikan gambaran bahwa ada perkampungan-perkampungan Muslim yang terbangun di wilayah Kerajaan Sriwijaya. Hubungan Sriwijaya dengan kekhalifahan Islam di Timur Tengah terus berlanjut hingga di masa khalifah Umar bin Abdul Azis. Ibn Abd Al Rabbih dalam karyanya Al Iqd al Farid yang dikutip oleh Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII menyebutkan ada proses korespondensi yang berlangsung antara raja Sriwijaya kala itu Sri Indravarman dengan khalifah yang terkenal adil tersebut.
Pada awal abad ke-12, Sriwijaya mengalami masalah serius yang berakibat pada kemunduran kerajaan. Kemunduran Sriwijaya ini pula yang berpengaruh pada perkembangan Islam di Nusantara. Kemerosotan ekonomi ini pula yang membuat Sriwijaya menaikkan upeti kepada kapal-kapal asing yang memasuki wilayahnya. Dan hal ini mengubah arus perdagangan yang telah berperan dalam penyebaran Islam.
Selain Sabaj atau Sribuza atau juga Sriwijaya disebut-sebut telah dijamah oleh dakwah Islam, daerah-daerah lain di Pulau Sumatera seperti Aceh dan Minangkabau menjadi lahan dakwah. Bahkan di Minangkabau ada tambo yang mengisahkan tentang alam Minangkabau yang tercipta dari Nur Muhammad. Ini adalah salah satu jejak Islam yang berakar sejak mula masuk ke Nusantara.
Di saat-saat itulah, Islam telah memainkan peran penting di ujung Pulau Sumatera. Kerajaan Samudera Pasai menjadi kerajaan Islam pertama yang dikenal dalam sejarah. Namun ada pendapat lain dari Prof. Ali Hasjmy dalam makalahnya pada Seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh yang digelar pada tahun 1978. Menurut Ali Hasjmy, kerajaan Islam pertama adalah Kerajaan Perlak.
ISLAM PADA MASA KERAJAAN DI IDONESIA
2.2.1 Islam Pada Masa Kerajaan Perlak
Kesultanan Peureulak adalah kerajaan Islam di Indonesia yang berkuasa di sekitar wilayah Peureulak, Aceh Timur, Aceh sekarang antara tahun 840 sampai dengan tahun 1292. Perlak atau Peureulak terkenal sebagai suatu daerah penghasil kayu perlak, jenis kayu yang sangat bagus untuk pembuatan kapal, dan karenanya daerah ini dikenal dengan nama Negeri Perlak. Hasil alam dan posisinya yang strategis membuat Perlak berkembang sebagai pelabuhan niaga yang maju pada abad ke-8, disinggahi oleh kapal-kapal yang antara lain berasal dari Arab dan Persia. Hal ini membuat berkembangnya masyarakat Islam di daerah ini, terutama sebagai akibat perkawinan campur antara saudagar muslim dengan perempuan setempat.
Naskah Hikayat Aceh mengungkapkan bahwa penyebaran Islam di bagian utara Sumatera dilakukan oleh seorang ulama Arab yang bernama Syaikh Abdullah Arif pada tahun 506 H atau 1112 M. Lalu berdirilah kesultanan Peureulak dengan sultannya yang pertama Alauddin Syah yang memerintah tahun 520–544 H atau 1161–1186 M. Sultan yang telah ditemukan makamnya adalah Sulaiman bin Abdullah yang wafat tahun 608 H atau 1211 M.
Chu-fan-chi, yang ditulis Chau Ju-kua tahun 1225, mengutip catatan seorang ahli geografi, Chou Ku-fei, tahun 1178 bahwa ada negeri orang Islam yang jaraknya hanya lima hari pelayaran dari Jawa. Mungkin negeri yang dimaksudkan adalah Peureulak, sebab Chu-fan-chi menyatakan pelayaran dari Jawa ke Brunai memakan waktu 15 hari. Eksistensi negeri Peureulak ini diperkuat oleh musafir Venesia yang termasyhur, Marco Polo, satu abad kemudian. Ketika Marco Polo pulang dari Cina melalui laut pada tahun 1291, dia singgah di negeri Ferlec yang sudah memeluk agama Islam.
Sultan pertama Perlak adalah Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Aziz Shah, yang beraliran Syiah dan merupakan keturunan Arab dengan perempuan setempat, yang mendirikan Kesultanan Perlak pada 1 Muharram 225 H (840 M). Ia mengubah nama ibukota kerajaan dari Bandar Perlak menjadi Bandar Khalifah. Sultan ini bersama istrinya, Putri Meurah Mahdum Khudawi, kemudian dimakamkan di Paya Meuligo, Peureulak, Aceh Timur.
Pada masa pemerintahan sultan ketiga, Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah, aliran Sunni mulai masuk ke Perlak. Setelah wafatnya sultan pada tahun 363 H (913 M), terjadi perang saudara antara kaum Syiah dan Sunni sehingga selama dua tahun berikutnya tak ada sultan.
Kaum Syiah memenangkan perang dan pada tahun 302 H (915 M), Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah dari aliran Syiah naik tahta. Pada akhir pemerintahannya terjadi lagi pergolakan antara kaum Syiah dan Sunni yang kali ini dimenangkan oleh kaum Sunni sehingga sultan-sultan berikutnya diambil dari golongan Sunni.
Pada tahun 362 H (956 M), setelah meninggalnya sultan ketujuh, Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat, terjadi lagi pergolakan selama kurang lebih empat tahun antara Syiah dan Sunni yang diakhiri dengan perdamaian dan pembagian kerajaan menjadi dua bagian:
• Perlak Pesisir (Syiah) dipimpin oleh Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah (986 – 988)
• Perlak Pedalaman (Sunni) dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986 – 1023)
Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah meninggal sewaktu Kerajaan Sriwijaya menyerang Perlak dan seluruh Perlak kembali bersatu di bawah pimpinan Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat yang melanjutkan perjuangan melawan Sriwijaya hingga tahun 1006.
Sultan ke-17 Perlak, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat (memerintah 1230 – 1267) menjalankan politik persahabatan dengan menikahkan dua orang putrinya dengan penguasa negeri tetangga Peureulak:
1. Putri Ratna Kamala, dikawinkan dengan Raja Kerajaan Malaka, Sultan Muhammad Shah (Parameswara).
2. Putri Ganggang, dikawinkan dengan Raja Kerajaan Samudera Pasai, Al Malik Al-Saleh.
Sultan terakhir Perlak adalah sultan ke-18, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat (memerintah 1267 – 1292). Setelah ia meninggal, Perlak disatukan dengan Kerajaan Samudera Pasai di bawah pemerintahan sultan Samudera Pasai, Sultan Muhammad Malik Al Zahir, putra Al Malik Al-Saleh.
2.2.2.Islam Pada Masa Kerajaan Samudra Pasai
Kerajaan Samudra Pasai tercatat dalam sejarah sebagai kerajaan Islam yang pertama. Mengenai awal dan tahun berdirinya kerajaan ini tidak diketahui secara pasti. Akan tetapi menurut pendapat Prof. A. Hasymy, berdasarkan naskah tua yang berjudul Izhharul Haq yang ditulis oleh Al-Tashi dikatakan bahwa sebelum Samudra Pasai berkembang, sudah ada pusat pemerintahan Islam di Peureula (Perlak) pada pertengahan abad ke-9. Perlak berkembang sebagai pusat perdagangan, tetapi setelah keamanannya tidak stabil maka banyak pedagang yang mengalihkan kegiatannya ke tempat lain yakni ke Pasai, akhirnya Perlak mengalami kemunduran.
Dengan kemunduran Perlak, maka tampillah seorang penguasa lokal yang bernama Marah Silu dari Samudra yang berhasil mempersatukan daerah Samudra dan Pasai. Dan kedua daerah tersebut dijadikan sebuah kerajaan dengan nama Samudra Pasai. Kerajaan Samudra Pasai terletak di Kabupaten Lhokseumauwe, Aceh Utara, yang berbatasan dengan Selat Malaka. Untuk mengetahui letak Samudra Pasai.
Berdasarkan lokasi kerajaan Samudra Pasai tersebut, maka dapatlah dikatakan posisi Samudra Pasai sangat strategis karena terletak di jalur perdagangan Internasional, yang melewati Selat Malaka.
Dengan posisi yang strategis tersebut, Samudra Pasai berkembang menjadi kerajaan Islam yang cukup kuat, dan di pihak lain Samudra Pasai berkembang sebagai bandar transito yang menghubungkan para pedagang Islam yang datang dari arah barat dan para pedagang Islam yang datang dari arah timur. Keadaan ini mengakibatkan Samudra Pasai mengalami perkembangan yang cukup pesat pada masa itu baik dalam bidang, politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Kerajaan Samudra Pasai yang didirikan oleh Marah Silu bergelar Sultan Malik al- Saleh, sebagai raja pertama yang memerintah tahun 1285 – 1297. Pada masa pemerintahannya, datang seorang musafir dari Venetia (Italia) tahun 1292 yang bernama Marcopolo, melalui catatan perjalanan Marcopololah maka dapat diketahui bahwa raja Samudra Pasai bergelar Sultan.
Setelah Sultan Malik al-Saleh wafat, maka pemerintahannya digantikan oleh keturunannya yaitu Sultan Muhammad yang bergelar Sultan Malik al-Tahir I (1297 – 1326). Pengganti dari Sultan Muhammad adalah Sultan Ahmad yang juga bergelar Sultan Malik al-Tahir II (1326 – 1348). Pada masa ini pemerintahan Samudra Pasai berkembang pesat dan terus menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan Islam di India maupun Arab. Bahkan melalui catatan kunjungan Ibnu Batulah seorang utusan dari Sultan Delhi tahun 1345 dapat diketahui Samudra Pasai merupakan pelabuhan yang penting dan istananya disusun dan diatur secara India dan patihnya bergelar Amir.
Pada masa selanjutnya pemerintahan Samudra Pasai tidak banyak diketahui karena pemerintahan Sultan Zaenal Abidin yang juga bergelar Sultan Malik al-Tahir III kurang begitu jelas.
Menurut sejarah Melayu, kerajaan Samudra Pasai diserang oleh kerajaan Siam. Dengan demikian karena tidak adanya data sejarah yang lengkap, maka runtuhnya Samudra. Dengan letaknya yang strategis, maka Samudra Pasai berkembang sebagai kerajaan Maritim, dan bandar transito. Dengan demikian Samudra Pasai menggantikan peranan Sriwijaya di Selat Malaka.
2.2.3 Islam Pada Masa Kerajaan Demak
Letak Demak sangat menguntungkan, baik untuk perdagangan maupun untuk pertanian. Pada zaman dahulu Distrik Demak terletak di pantai selat yang memisahkan Pegunungan Muria dari Jawa. Sebelumnya selat itu rupanya agak lebar dan dapat dilayari dengan baik, sehingga kapal-kapal dagang dari Semarang dapat mengambil jalan pintas itu untuk berlayar ke Rembang.. Tetapi sudah sejak abad ke-17 jalan pintas itu tidak lagi dapat dilayari setiap saat.
Pada abad ke-16 agaknya Demak telah menjadi tempat penimbunan perdagangan padi, yang berasal dari daerah-daerah pertanian di sebelah-menyebelah selat tersebut, dengan perairannya yang tenang, untuk pelayaran. Konon, Kota Juwana, di sebelah Timur, sekitar tahun 1500 merupakan pusat seperti itu bagi daerah tersebut. Tetapi menurut Tome Pires sekitar tahun 1513 Juwana telah dihancurkan dan dikosongkan oleh Gusti Patih, panglima besar Kerajaan Majapahit yang bukan Islam. Ini tentu merupakah suatu pengerahan tenaga terakhir kerajaan yang sudah tua itu. Setelah jatuhnya Juwana, Demak menjadi penguasa mutlak selat di sebelah selatan Pegunungan Muria.
Menurut cerita tradisi Mataram Jawa Timur, raja Demak yang pertama – Raden Patah – adalah putra raja Majapahit yang terakhir (dari zaman sebelum Islam), yang dalam lagenda-lagenda bernama Brawijaya. Ibu Raden Patah konon seorang putri Cina dari keraton raja Majapahit. Waktu hamil putri itu dihadiahkan kepada seorang anak emasnya yang menjadi gubernur di Palembang. Di situlah Radeh Patah lahir.
Dalam buku-buku cerita dan cerita babad dari Jaws Timur dan Jawa Tengah, raja Demak kedua sebagai pengganti Raden Patah yang legendaris itu disebut Pangeran Sabrang-Lor. Nama itu ternyata berasal dari daerah tempat tinggalnya di “Seberang Utara”. Tidak ada yang luar biasa disebut dalam cerita babad tentangnya
Menurut cerita Jawa Timur dan Mataram dalam buku-buku cerita Serat Kandha dan cerita babad, penguasa Demak yang ketiga bernama Tranggana atau Trenggana. la adalah saudara sultan sebelum dia, Pangeran Sabrang-Lor; kedua-duanya putra penguasa pertama, Raden Patah yang terkenal itu. Menurut cerita yang beredar di kalangan pengagum orang-orang suci,Tranggana telah mengundang Sunan Kalijaga dari Cirebon untuk menetap di Kadilangu dekat Demak. (Pada abad ke-17 Sunan Kalijaga dianggap sebagai rasul Islam dan pelindung Jawa Tengah sebelah selatan).
Dalam buku-buku cerita dan cerita babad dari Jawa Tengah, Tranggana dan ayahnya (Raden Patah) diberi nama sesuai dengan nama tempat yang mungkin terletak dekat Demak, yaitu Jimbun. Dalam cerita-cerita ini terdapat seorang panembahan Jimbun, bahkan seorang Sultan Bintara Jimbun dan Jimbun Sabrang.
Bagian yang tertua dari Masjid Demak yang amat suci itu, yaitu pengimaman, mungkin sudah dibangun pada perempat terakhir abad ke-15. Jelaslah bahwa masjid tersebut telah meraih nama harum di Jawa Tengah sebagai masjid agung dari kerajaan Islam yang pertama di negeri ini. Oleh sebab itu, penting mengumpulkan keterangan yang menyangkut hubungan raja-raja Demak dengan agama Islam dan golongan santri.
Jemaah beserta masjid yang mereka bangun sendiri merupakan permulaan pengislaman Pulau Jawa. Jemaah ini diketahui oleh para imam, yang semula mendapatkan kekuasaan dengan jalan memimpin salat wajib lima waktu. Kekuasaan rohani para imam masjid ini sudah sejak zaman awal penyebaran agama Islam meluas meliputi bidang kehidupan masyarakat: pada asasnya, agama Islam meluas meliputi bidang kehidupan masyarakat: pada asasnya, agama Islam tidak mengakui adanya perbedaan antara hal rohani dan hal duniawi. Suatu hal yang berarti, di Jawa para imam masjid hampir selalu disebut “penghulu”. Kata “penghulu” di tanah Melayu berarti “kepala” pada umumnya, tanpa arti khusus di bidang rohani.
Dalam Hikayat Hasanuddin, sejarah singkat tentang raja-raja Banten, terdapat suatu bagian yang seluruhnya mengisahkan kelima imam Masjid Demak. Pemberitaan mereka dalam kronik Banten ini dapat dihubungkan dengan kenyataan bahwa penyusunnya ternyata menaruh minat terhadap soal-soal kerohanian. Mungkin ia sendiri termasuk kelompok santri. Dapatlah dimengerti jika baik Tome Pires, orang Portugis itu, maupun penulis-penulis Belanda pada waktu-waktu kemudian, sedikit pun tidak membuat catatan mengenai imam-imam masjid. Jadi, berita-berita Jawa tidak dapat dibandingkan dengan berita-berita Barat. Kemungkinan pemberitaan-pemberitaan tentang kelima imam Demak itu dapat dipercaya pada pokoknya berdasarkan sifatnya sebagai kronik keluarga. Mungkin yang menjadi dasar pemberitaan-pemberitaan tersebut ialah suatu silsilah tua yang autentik. Maka dari itu, ada baiknya membicarakan berita-berita tentang imam-imam Demak dalam uraian berikut ini sehubungan dengan sejarah dinasti Demak.
Imam pertama di Masjid Demak konon ialah Pangeran Bonang, putra Pangeran Rahmat dari Ngampel Denta (Surabaya). Ia telah dipanggil oleh “Pangeran Ratu” di Demak itu untuk memangku jabatan itu. Selang berapa lama ia telah meletakkan jabatan itu untuk pergi, mula-mula ke Karang Kemuning, kemudian ke Bonang, dan akhirnya ke Tuban; di tempat itu ia meninggal. Buku Sadjarah Dalem, suatu silsilah raja-raja Mataram-Surakarta, menyusun urutan tempat kediaman tersebut secara lain: Surabaya, Karang Kemuning, Tuban, Ngampel Denta, Demak. la juga diberi nama Pangeran Makdum Ibrahim dan Sunan Wadat Anyakra Wati; menurut cerita ia hidup membujang atau setidak-tidaknya tidak meninggalkan anak.
Menurut Hikayat Hasanuddin, keempat imam Masjid Demak yang, berikut ini semuanya masih berkerabat dengan putri Pangeran Rahmat dari Ngampel Denta, yang diberi nama Nyai Gede Pancuran, sesuai dengan nama tempat tinggalnya yang kemudian. Ia konon kawin dengan Pangeran Karang Kemuning, seorang alim ulama dari “Atas Angin” dari Barat, mungkin orang Melayu atau orang yang berasal dari India atau Arab, yang bernama Ibrahlm. Karang Kemuning itu tempat kedudukan Aria Timur, raja Jepara. “Pangeran Atas Angin” ini konon anak Pangeran Bonang. Pada akhir hidupnya ia pergi ke Surabaya, tempat ia wafat dan dimakamkan di samping ayah mertuanya, Pangeran Rahmat dari Ngampel Denta. Janda dan keluarganya pergi ke Tuban, tempat tinggal saudaranya, Pangeran Bonang. la menetap di Pancuran. Sejak itu ia diberi nama sesuai dengan tempat tersebut. Menurut cerita, ia mempunyai mukjizat. Adipati Tuban pun sangat menghormatinya. Pada akhir hidupnya janda itu kembali ke Surabaya, dan dimakamkan dekat ayah dan suaminya.
Menurut Hikayat Hasanuddin, imam kedua Masjid Demak ialah suami cucu Nyai Gede Pancuran. la diberi nama Makdum Sampang. Ayahnya berasal dari Majapahit. Makdum Sampang selama beberapa waktu tinggal di rumah ipar perempuannya, Nyai Pembarep, juga cucu Nyai Gede Pancuran, dan janda Kalipah Husain, yang juga seorang alim ulama dari “Sabrang”. Konon, mereka bertempat tinggal di Undung (dekat Kudus sekarang). Dari situ Makdum Sampang pindah berturut-turut ke Surabaya, ke Tuban, dan ke Demak. Di tempat-tempat itu ia selalu memangku jabatan imam. Kepergiannya dari Tuban itu disebabkan ia merasa sangat keberatan untuk bekerja di bawah kekuasaan seorang adipati yang masih bersikap sebagai abdi maharaja Majapahit yang “kafir” itu. Itulah sebabnya ia memenuhi panggilan “Pangeran Ratu” Demak, untuk menjadi imam di masjid setempat. Setelah wafat dalam usia lanjut, konon ia dimakamkan di sebelah barat masjid yang termasyhur itu.
Makdum Sampang sebagai imam diganti oleh anaknya, yang dalam Hikayat Hasanuddin disebut Kiai Gedeng Pambayun ing Langgar. Tidak lama kemudian ia bersama ibunya pindah ke Jepara, untuk menjadi imam di sana. Mereka berdua, dan sesudah mereka juga beberapa sanak saudara lainnya, dimakamkan di sana, di gunung keramat Danareja.
Imam keempat Masjid Demak, menurut Hikayat Hasanuddin, konon seorang saudara sepupu dari pihak ibu imam pendahulunya. Jelasnya: ia anak Nyai Pambarep, yaitu ipar perempuan Makdum Sampang. la mendapat gelar Penghulu Rahmatullah dari Undung. la dipanggil oleh adipati Sabrang Lor untuk memangku jabatan itu dan ia gugur “dalam pertempuran”. la dimakamkan dekat Masjid Demak, di samping pamannya Makdum Sampang.
Orang kelima pada daftar imam Masjid Demak yang disebut dalam Hikayat Hasanuddin ialah orang yang mendapat julukan Pangeran Kudus, sesuai dengan tempat tinggalnya kemudian. la juga terkenal dengan panggilan Pandita Rabani. Konon, ia putra Pengulu Rahmatullah. Menurut hikayat ini, kiranya ia telah dipanggil oleh Syekh Nurullah (yang kemudian akan menjadi Sunan Gunungjati dari Cirebon) untuk memangku jabatan imam. Buku Sadjarah Dalem silsilah keturunan antara Sunan Ngampel dan Sunan Kudus. Seharusnya ada lima keturunan, seperti yang disebutkan oleh Hikayat ini. Sunan Kudus dianggap sebagai salah seorang moyang raja-raja Mataram (menurut garis ibu).
Daftar lima imam Masjid Demak yang menurut Hikayat Hasanuddin telah memangku jabatan selama pemerintahan tiga (atau empat) raja pertama kerajaan itu (bandingkan Bab II-6, akhir) adalah sebagai berikut.
1. Pangeran Bonang : sesudah tahun 1490 sampai tahun 1506/12 (?), dipanggil oleh “ratu” Demak.
2. Makdum Sampang: tahun 1506/12 sampai kira-kira tahun 1515 (?), dipanggil oleh “ratu” Demak.
3. Kiai Pambayun : ca. tahun 1515 sampai sebelum tahun 1521(?), pindah ke Japara.
4. Pengulu Rahmatullah : tahun 1524 (?) – ditetapkan oleh Syekh Nurullah, yang kemudian menjadi Sunan Gunungjati.
Berdasarkan keterangan yang dikutip dari Hikayat Hasanuddin ini, dapat diambil kesimpulan bahwa kedudukan imam-imam yang pertama itu amat tergantung pada raja-raja Demak, pelindung mereka. Kemudian (mungkin waktu kekuasaan duniawi mereka atas jemaah di sekitar Masjid makin bertambah besar) mereka bersikap agak lebih bebas dan mempunyai hubungan dengan pemimpin-pemimpin rohani kota-kota lain. Yang disebut paling akhir pada daftar kelima imam itu, menurut cerita tradisi Jawa, memegang peranan penting dalam merebut kota raja Majapahit yang masih “kafir” itu.
2.2.4 Islam Pada Masa Kerajaan Ternate
Kerajaan Gapi atau yang kemudian lebih dikenal sebagai Kesultanan Ternate (mengikuti nama ibukotanya) adalah salah satu dari 4 kerajaan Islam di Maluku dan merupakan salah satu kerajaan Islam tertua di nusantara. Didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada 1257. Kesultanan Ternate memiliki peran penting di kawasan timur nusantara antara abad ke-13 hingga abad ke-17. Kesultanan Ternate menikmati kegemilangan di paruh abad ke -16 berkat perdagangan rempah-rempah dan kekuatan militernya. Di masa jaya kekuasaannya membentang mencakup wilayah Maluku, Sulawesi utara, timur dan tengah, bagian selatan kepulauan Filipina hingga sejauh kepulauan Marshall di pasifik.
Pulau Gapi (kini Ternate) mulai ramai di awal abad ke-13, penduduk Ternate awal merupakan warga eksodus dari Halmahera. Awalnya di Ternate terdapat 4 kampung yang masing – masing dikepalai oleh seorang momole (kepala marga), merekalah yang pertama – tama mengadakan hubungan dengan para pedagang yang datang dari segala penjuru mencari rempah – rempah. Penduduk Ternate semakin heterogen dengan bermukimnya pedagang Arab, Jawa, Melayu dan Tionghoa. Oleh karena aktifitas perdagangan yang semakin ramai ditambah ancaman yang sering datang dari para perompak maka atas prakarsa momole Guna pemimpin Tobona diadakan musyawarah untuk membentuk suatu organisasi yang lebih kuat dan mengangkat seorang pemimpin tunggal sebagai raja.
Tahun 1257 momole Ciko pemimpin Sampalu terpilih dan diangkat sebagai Kolano (raja) pertama dengan gelar Baab Mashur Malamo (1257-1272). Kerajaan Gapi berpusat di kampung Ternate, yang dalam perkembangan selanjutnya semakin besar dan ramai sehingga oleh penduduk disebut juga sebagai “Gam Lamo” atau kampung besar (belakangan orang menyebut Gam Lamo dengan Gamalama). Semakin besar dan populernya Kota Ternate, sehingga kemudian orang lebih suka mengatakan kerajaan Ternate daripada kerajaan Gapi. Di bawah pimpinan beberapa generasi penguasa berikutnya, Ternate berkembang dari sebuah kerajaan yang hanya berwilayahkan sebuah pulau kecil menjadi kerajaan yang berpengaruh dan terbesar di bagian timur Indonesia khususnya Maluku.
Di masa – masa awal suku Ternate dipimpin oleh para momole. Setelah membentuk kerajaan jabatan pimpinan dipegang seorang raja yang disebut Kolano. Mulai pertengahan abad ke-15, Islam diadopsi secara total oleh kerajaan dan penerapan syariat Islam diberlakukan. Sultan Zainal Abidin meninggalkan gelar Kolano dan menggantinya dengan gelar Sultan. Para ulama menjadi figur penting dalam kerajaan.
Setelah Sultan sebagai pemimpin tertinggi, ada jabatan Jogugu (perdana menteri) dan Fala Raha sebagai para penasihat. Fala Raha atau Empat Rumah adalah empat klan bangsawan yang menjadi tulang punggung kesultanan sebagai representasi para momole di masa lalu, masing – masing dikepalai seorang Kimalaha. Mereka antara lain ; Marasaoli, Tomagola, Tomaito dan Tamadi. Pejabat – pejabat tinggi kesultanan umumnya berasal dari klan – klan ini. Bila seorang sultan tak memiliki pewaris maka penerusnya dipilih dari salah satu klan. Selanjutnya ada jabatan – jabatan lain Bobato Nyagimoi se Tufkange (Dewan 18), Sabua Raha, Kapita Lau, Salahakan, Sangaji dll. Untuk lebih jelasnya lihat Struktur organisasi kesultanan Ternate.
Tak ada sumber yang jelas mengenai kapan awal kedatangan Islam di Maluku khususnya Ternate. Namun diperkirakan sejak awal berdirinya kerajaan Ternate masyarakat Ternate telah mengenal Islam mengingat banyaknya pedagang Arab yang telah bermukim di Ternate kala itu. Beberapa raja awal Ternate sudah menggunakan nama bernuansa Islam namun kepastian mereka maupun keluarga kerajaan memeluk Islam masih diperdebatkan. Hanya dapat dipastikan bahwa keluarga kerajaan Ternate resmi memeluk Islam pertengahan abad ke-15.
Kolano Marhum (1465-1486), penguasa Ternate ke-18 adalah raja pertama yang diketahui memeluk Islam bersama seluruh kerabat dan pejabat istana. Pengganti Kolano Marhum adalah puteranya, Zainal Abidin (1486-1500). Beberapa langkah yang diambil Sultan Zainal Abidin adalah meninggalkan gelar Kolano dan menggantinya dengan Sultan, Islam diakui sebagai agama resmi kerajaan, syariat Islam diberlakukan, membentuk lembaga kerajaan sesuai hukum Islam dengan melibatkan para ulama. Langkah-langkahnya ini kemudian diikuti kerajaan lain di Maluku secara total, hampir tanpa perubahan. Ia juga mendirikan madrasah yang pertama di Ternate. Sultan Zainal Abidin pernah memperdalam ajaran Islam dengan berguru pada Sunan Giri di pulau Jawa, disana beliau dikenal sebagai “Sultan Bualawa” (Sultan Cengkih).
3.2.5 Kerajaan Mataram
Raja merdeka pertama di Mataram mangkat pada tahun 1601. Tahun kejadian itu sudah pasti, karena pada tahun itu terjadi gerhana matahari yang dicatat pada kronik-kronik Jawa di samping peristiwa kematian itu. la meninggal di Kajenar (di daerah Sragen). Oleh sebab itu, dalam sejarah Jawa ia disebut juga Seda-ing-Kajenar. Ia dimakamkan di bawah kaki ayahnya, Ki Pamanahan, di tempat permakaman tua dekat kota istana Kotagede, yang telah mereka bangun dan perluas.
Tidak ada berita-berita dari orang-orang luar – bangsa Portugis atau Belanda – yang kiranya dapat memberi gambaran tentang peletak dasar kekuasaan dinasti Mataram ini. Tanpa menyebutkan nama, suatu berita Belanda hanya mengabarkan adanya seorang raja di Mataram (lihat bagian sebelum ini). Karena itu, hanya hasil kerjanyalah yang dapat memberi kesaksian tentangnya. Ternyata, usahanya telah berhasil: kira-kira dalam waktu 15 tahun kekuasaan Mataram telah diakui oleh sebagian besar Jawa Tengah; perlawanan keluarga-keluarga raja yang lebih tua di Jawa Timur telah dapat ditahannya.
Kekerasan kemauan dan ketangkasan yang sudah menjadi bawaannya telah merangsang kegairahan bertindak dan semangat tempur bawahannya. Penduduk daerah Mataram, yang baru pada perempat ketiga abad ke-16 dikuasai oleh Ki Pamanahan, sebagian besar terdiri dari para pendatang baru dari daerah-daerah lain di Jawa yang karena berbagai hal telah mengadu untung di luar kampung halaman mereka. Dapat diperkirakan bahwa generasi pertama dan kedua para pengadu untung di Mataram itu – berkat raja yang berkemauan keras dan haus kekuasaan – telah rela ikut berperang, dengan harapan dapat pulang membawa harta rampasan dari daerah-daerah di Jawa Timur dan di Pesisir yang dikuras habis. Laki-laki dan perempuan, yang dipaksa ikut pindah dan bekerja keras di Mataram, memungkinkan “wong Mataram” yang merdeka dengan sepenuh tenaga mengabdi pada keraton dan masuk tentara. Hal itu berlangsung di zaman pemerintahan Sultan Agung sampai pada pertengahan abad ke-17, yang menjadi dasar perkembangan kekuatan Mataram.
Sekalipun Panembahan Senapati banyak mencapai sukses di bidang politik-militer, ia tidak berhasil mendapatkan pengakuan dari raja-raja Jawa lain sebagai raja yang sederajat dan sejajar dengan mereka. Karena dari perkawinan pertamanya, ia hanya mempunyai hubungan kekerabatan dengan keluarga raja Pati. Dengan raja Pragola akhirnya ia malah bermusuhan. Perkawinan yang dipaksakan dengan putri Madiun, yang dalam cerita tutur Mataram diberitakan dengan penuh kebanggaan, malah menjatuhkan namanya di kalangan raja-raja Jawa Timur. Kecuali itu Panembahan Senapati juga mempunyai hubungan keluarga dengan keturunan Ki Giring dan Ki Kajoran, yang mempunyai hak lebih tua di Jawa Tengah bagian selatan daripada keturunan Panembahan Senapati sendiri. Tetapi mereka itu hanya memiliki sedikit kekuasaan duniawi. Anak sulung Panembahan, Raden Rangga, konon beribukan seorang putri dari istana Kalinyamat. Oleh Ratu Kalinyamat putri itu sebenarnya telah disediakan bagi iparnya, Sultan Pajang.
Menurut cerita babad dari Mataram, tidak lama sebelum meninggalnya Panembahan Senapati dengan tegas telah menunjuk anak satu-satunya yang masih hidup – anak garwa padmi putri dari Pati – Raden Mas Jolang sebagai penggantinya meskipun masih muda. Raja yang masih muda itu memang dilantik sesudah ayahnya meninggal, terutama karena pengaruh Adipati Mandaraka yang sudah tua dan yang sudah sudah lama mengabdi sebagai patih. Juga karena pengaruh Pangeran Mangkubumi, adik Panembahan Senapati. Raja kedua di Mataram itu dalam sejarah Jawa terkenal dengan nama anumertanya, Seda-ing Krapyak, karena ia meninggal pada usia cukup muda karena kecelakaan di Krapyak tahun 1613. Krapyak adalah sebuah cagar alam binatang, taman berburu.
KESIMPULAN
Secara garis besar penulis mencona menyimpulkan awal dari masuknya islam ke indonesia dan awal berkembannya kerajaan-kerajaan islam di indonesia. Karena spesifikasi kerajaan-kerajaan islam di indonesia dapat di baca lebih detail di bab sebelumnya.
Diawali pada tahun 30 Hijri atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama berdiri. Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini sambil berdakwah.
Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi., yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi’i. Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.
Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Samudra Pasai, , Demak, Ternate, Mataram, dll. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab. Dengan kekuasaan mereka pun, meeka memberikan sumbangsih yang cukup penting dalampengantar peradaban islam di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
•Amal Adnan M, “Maluku Utara, Perjalanan Sejarah 1250 – 1800 Jilid I dan II”, Universitas Khairun Ternate 2002.
•Azra Azyumardi. Renaisans Islam Asia Tenggara.- Sejarah Wacana dan Kekuasaan.Jakarta: Rosda., 1999..
•Braginsky, V. I. (. Yang Indah, Yang Beifaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu Dalain Abad 7-19. Jakarta: INIS. 1992.
•Faruqi R. Ismail. Atlas Kebudayaan Islam. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
•Pustaka. 1992.
•Gellner, Ernest. Posmodernism, Reason and Religion. London and New York:,1992.
•Hamid Ismail. Kesusastraan Melayu Lama dari Warisan Peradaban Islam. Petaling Jaya, Selangor: Fajar Bakti Sdn. Bhd, 1983.
•Hanna A. Willard, Alwi Des, “Ternate dan Tidore, Masa Lalu Penuh Gejolak”, Pustaka Sinar Harapan Jakarta 1996.
•Hasan Hamid Abdul, “Ternate dari abad ke abad”, Ternate 1987..
•Iskandar Teuku, Hikayat Aceh, Martinus Nijhoff, ‘s-Gravenhage, 1958.
•Masinambow, “Bahasa Ternate dalam konteks bahasa – bahasa Austronesia dan Non Austronesia”, dalam TERNATE BANDAR JALUR SUTERA, LinTas 2001
•Montana Suwedi, “Nouvelles donees sur les royaumes de Aceh”, Archipel, 53, 1997,
•Tjandrasasmita Uka. Sejarah Nasional Indonesia III: daman Pertumbuhan danPerkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Jakarta: DepartemenPendidikandan Kebudayaan., 1975.
•Winstedt, R. O. (). A History of Classical Malay Literature. Kuala Lumpu: Oxford
•University Press. 1961.
•Yule Henry Sir, The Book of Marco Polo, II, London, 1903,.
•—————–. Preliminary Statement on a General Theory of the Islamization of Malaysia Indonesian Archipelago. Kuala Lumpur: Universiti Malaya Press. 1996.
•—————SKI Fakultas Adab UIN Yogyakarta, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, Yogyakarta: Penerbit PUSTAKA, 2006
—————–. Preliminary Statement on a General Theory of the Islamization ofMalaysia Indonesian Archipelago. Kuala Lumpur: Universiti Malaya Press. hal. 223.
Ibid.
Azyumardi Azra. Renaisans Islam Asia Tenggara.- Sejarah Wacana dan Kekuasaan.Jakarta: Rosda., 1999. hal. 18.
Braginsky, V. I. . Yang Indah, Yang Beifaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu Dalain Abad 7-19. Jakarta: INIS. hal. 86.
SKI Fakultas Adab UIN Yogyakarta, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, Yogyakarta: Penerbit PUSTAKA, 2006, hal. 26
Teuku Iskandar, Hikayat Aceh, Martinus Nijhoff, ‘s-Gravenhage, 1958. Suwedi Montana, “Nouvelles donees sur les royaumes de Aceh”, Archipel, 53, 1997, hal. 85-9
Ibid.
Sir Henry Yule, The Book of Marco Polo, II, London, 1903, hal. 284.
SKI Fakultas Adab UIN Yogyakarta, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, hal. 27.
Ismail Hamid. Kesusastraan Melayu Lama dari Warisan Peradaban Islam. Petaling Jaya, Selangor: Fajar Bakti Sdn. Bhd, 1983. hal. 56.
Ibid. hal 35.
Pada abad ke-17 selama musim hujan orang dapat berlayar dengan sampan lewat tanah yang tergenang air, mulai dari Jepara sampai Pati di tepi Sungai Juwana (Graaf, Sunan Mangku Rat, jil. ke-1, hlm. 218). Pada lahun 1657 Tumenggung Pati mengumumkan, bahwa ia bermaksud menggali saluran air baru dari Demak ke Juwana, hingga Juwana akan dapat menjadi pusat perdagangan (Grad, Sunan Mangku Rat, jil. ke-1, hal. 112). Boleh jadi ia menginginkan memulihkan jalan air lama, yang satu abad yang lalu masih dapat dipakai.
Tome Pires, Suma Oriental, I, hal. 189..
Panembahan Jimbun diberitakan dalam sebuah buku cerita (serat kandha) yang isinya panjang lebar (Pigeaud, Literature, jil. II, hal. 3626 dan 363a). Yang penting untuk dikemukakan ialah bahwa dengan menyebut nama Senapati Jimbun sebagai penyusun, telah diterbitkan buku hukum yang diberi nama Salokantara (Pigeaud, Literature, jil. 1, hal. 310a). Buku ini tergolong kesusastraan abad ke-16 yang bersifat hukum. Mudah sekali dapat diduga bahwa buku ini telah disusun atas perintah raja yang paling kuasa dari dinasti Demak, mungkin raja pertama yang dapat mengetengahkan dirinya sebagai raja Islam yang berdaulat.
Uka Tjandrasasmita. Sejarah Nasional Indonesia III: daman Pertumbuhan danPerkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Jakarta: DepartemenPendidikandan Kebudayaan., 1975. hal. 97.
Pangeran (atau Sunan) Bonang ialah satu di antara Sembilan Orang-orang Suci (Wali Songo), rasul-rasul dalam agama Islam, yang telah dihormati oleh orang-orang beriman dari zaman lama di Jawa Tengah. Banyak legenda diceritakan tentangnya (Pigeaud, Literature, jil. III, Indeks). Buku Sunan Bonang, secara tidak tepat oleh Dr. Schrieke (Schrieke, Bonang); dianggap sebagai karangan Sunan Bonang telah diterbitkan lagi oleh Dr. Drewes (Drewes, Admonitions).
Memang kita tertarik untuk berkesimpulan bahwa pindahnya Imam Demak yang ketiga ke Jepara itu terjadi pada saat ketika raja Jepara (mungkin Pate Unus menurut orang-orang Portugis, Adipati Sabrang Lor menurut ceritera tutur Jawa) mempunyai kekuasaan juga di Demak. Karena raja itu meninggal pada tahun 1521, tentunya perpindahan itu terjadi sebelum tahun tersebut.
Peperangan (melawan Majapahit) itu terjadi kira-kira pada tahun 1524 (chat Bab II-10). Imam yang keempat ialah imam pertama, yang diberi sebutan “pengulu”, dengan istilah pinjaman dari bahasa Melayu yang sekarang lazim dipakai di Jawa. Dapat diperkirakan, bahwa penggantian sebutan imam menjadi pengulu ini dapat dihubungkan dengan pergantian fungsi. Dengan gelar pengulu itu mungkin raja hendak menambahkan bobot yang lebih nyata lagi pada kekuasaan sekuler yang dimiliki kepala jemaah masjid. Rupanya Pengulu Rahmatullah memang benar-benar ikut bertempur di medan laga. Rahmatullah agaknya merupakan nama anumerta: “Yang telah kembali ke Rahmat Allah”.
Pangeran Kudus ini dalam sejarah Jawa Tengah pada pertengahan pertama abad ke-16 telah memainkan peranan yang cukup penting (lihat Bab 5). la juga termasuk Wali Songo, seperti sanak keluarganya yang lebih tua, yaitu Sunan Ngampel Denta dan Sunan Bonang, yang dihormati oleh orang-orang beriman zaman lama di Jawa Tengah. Sudah jelas bahwa Musyawarat orang-orang suci menurut cerita legenda ini, yang dihadiri oleh mereka semua, sukar kiranya dapat sungguh-sungguh terjadi. Dugaan ini wajar, karena antara kedua tokoh historis Sunan Ngampel Denta dan Sunan Kudus terdapat jarak waktu beberapa generasi (dari pertengahan abad ke-15 sampai dekade-dekade pertama abad ke-16).
M. Adnan Amal, “Maluku Utara, Perjalanan Sejarah 1250 – 1800 Jilid I dan II”, Universitas Khairun Ternate 2002. hal 131.
Willard A. Hanna & Des Alwi, “Ternate dan Tidore, Masa Lalu Penuh Gejolak”, Pustaka Sinar Harapan Jakarta 1996. hal. 45
Ibid.
Abdul Hamid Hasan, “Ternate dari abad ke abad”, Ternate 1987. hal 76.
Prof E.K.W Masinambow, “Bahasa Ternate dalam konteks bahasa – bahasa Austronesia dan Non Austronesia”, dalam TERNATE BANDAR JALUR SUTERA, LinTas 2001
Meninggalnya Panembahan Senapati pada tahun 1601 sudah dibicarakan dalam Graaf, Senapati (hal. 128 dst.). Menurut Meinsma (Babad, hlm. 209), waktu ia meninggal, ia telah menjadi raja 3 tahun lamanya. Di sini mungkin perlu dibaca 13 tahun. Tahun 1588 merupakan tahun yang penting dalam sejarah perkembangan kekuasaan Mataram di Jawa Tengah. Pada tahun 1598 tidak banyak hal penting dilaporkan
Dalam Padmasoesastra, Sadjarah Dalem (hal. 132 dst.), terdapat sebuah daftar yang memuat nama para istri dan anak (termasuk yang meninggal waktu masih muda) Panembahan Senapati. Daftar-daftar para keluarga raja-raja Mataram ini mungkin berdasarkan catatan yang berasal dari tempat tinggal para istri raja di Keraton. Karena keterperinciannya, daftar-daftar ini memberikan kesan dapat dipercaya, juga dalam hal asal usul ibu-ibu para putra raja. Setidak-tidaknya, Sadjarah Dalem itu dalam hal kerumahtanggaan keraton zaman Mataram memberikan gambaran yang agak luas, khususnya mengenai harem. Karangan tersebut mengenai zaman-zaman yang lain, kurang dapat dipercaya.
Prof E.K.W Masinambow, “Bahasa Ternate dalam konteks bahasa – bahasa Austronesia dan Non Austronesia”, dalam TERNATE BANDAR JALUR SUTERA, LinTas 2001
0 komentar:
Post a Comment